Suara Buruh Nasional

Selasa, 04 Juni 2013

Membangun Sekolah yang Efektif di Era Otonomi Daerah


Oleh : Tuah Manurung
Wakil Ketua PGRI kota Tanjungbalai-Guru SMAN 7 Tanjungbalai

SEJALAN dengan otonomi daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001, pendidikan dasar dan menengah juga diserahkan pengelolaannya kepada daerah. Pemerintah daerah memang belum memiliki pengalaman mengelola sekolah secara komprehensif. Ada daerah yang mencerminkan sikap pesimisme dan juga ada yang mencerminkan sikap yang amat optimistik dalam menyambut otonomi dalam bidang pendidikan. Bagi daerah yang pesi-mistik, hal ini terjadi sebagai akibat Dana Alokasi Umum kecil dibandingkan dengan kebutuhan daerah untuk menggaji guru pegawai negeri lain yang sudah didaerahkan. Karena pesimisnya bahkan ada Bupati yang dengan lugas “bercita-cita” untuk meng-embalikan sebagian guru ke pemerintah pusat. Hal ini terjadi kebanyakan di daerah dalam Jawa. Sebaliknya, Pemerintah Daerah yang optimistik saat ini telah mampu membuat rancangan anggaran untuk meningkatkan pendidikan di daerahnya masing-masing melalui Pendapatan Asli Daerah yang amat signifikan jumlahnya. Keadaan ini dapat terjadi karena daerah yang bersangkutan memiliki cukup sumber alam berupa komoditas primer yang dapat dijual untuk kepentingan itu. Apapun sikap daerah, the show must go on. Artinya, pendidikan memang harus segera ditangani dengan berbagai kendala yang mungkin ada di daerah masing-masing secara otonom.

Dalam otonomi pendidikan, sebenarnya terbuka peluang yang cukup besar untuk membuat pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena Bupati Kepala Daerah saat ini memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas sekolah di daerahnya masing-masing melalui sistem rekrutmen guru, rekrutmen siswa, pembinaan profesionalisme guru, rekrutmen kepala sekolah, penentuan sistem evaluasi, dan sebagainya. Jadi dalam era otonomi, berbicara tentang kualitas pendidikan dasar dan menengah tinggal tergantung pada maunya daerah. Jika kita meminjam terminologi school based management, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih tergantung pada komitmen daerah untuk merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders. Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu akan memiliki praksis yang baik, dan dengan demikian kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan.
Sebaliknya, manakala pemerintah daerah memandang pendidikan tidak penting, sehingga visi dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan secara jelas dan dengan demikian tidak dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid, mudah ditebak bahwa pendidikan di daerah itu akan tidak baik. Jika hal ini terjadi, praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Sekolah-sekolah akan dikelola secara tidak efektif. Akhirnya berbicara visi dan misi di sekolah-sekolah berubah menjadi sesuatu yang dipandang terlalu mewah. Kondisi seperti ini akan mendorong para praktisi pendidikan di daerah kehilangan arah dalam menjalankan fungsinya secara profesional.
Membangun budaya sekolah agar suatu sekolah menjadi sekolah efektif merupakan tantangan bagi daerah dalam menangani otonomi pendidikan. Semasa sentralisasi pendi-dikan, sekolah-sekolah dikelola tanpa memperhatikan efektivitas suatu sekolah. Bahkan ada tolok ukur yang amat trivial, dan sebenarnya misleading bagi proses pendidikan di sekolah, yaitu pencapaian prestasi sekolah yang selalu dikaitkan dengan NEM. Akibatnya segala daya yang dimiliki sekolah dikerahkan sedemikian rupa agar di sekolah-sekolah di bawah daerah kekuasaan kantor wilayah dapat mencapai NEM yang tinggi. Proyek-proyek perbaikan kualitas sekolah juga memiliki parameter peningkatan NEM. Masyarakat juga sangat menikmati kebijakan itu, sehingga jika seorang anak memiliki NEM yang tinggi orangtua anak yang bersangkutan sangat bangga tanpa mempedulikan kerusakan aspek afektif pada diri anak. Pendek kata NEM telah dituhankan di republik ini dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dalam era otonomi pendidikan, keadaan ini harus diubah. Sekarang ini telah lahir paradigma baru mengenai keberhasilan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang nyata. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa IQ – perolehan aspek kognitif (yang dicerminkan dengan perolehan NEM) tidak lagi merupakan parameter yang signifikan bagi keberhasilan seseorang. Sebaliknya, ada faktor lain yang lebih signifikan sebagai indikator keberhasilan, yaitu: aspek afektif – emotional intelligence (EQ). Dengan demikian, kemampuan menahan diri, mengendalikan emosi, memahami emosi orang lain, memiliki ketahanan menghadapi kegagalan, bersikap sabar, memiliki kesadaran diri, bermotivasi tinggi, bersikap kreatif, memiliki empati, bersikap toleransi, dan sebagainya merupakan karakteristik yang jauh lebih penting untuk dimiliki siswa dari pada sekedar pencapaian NEM itu sendiri.
Jika demikian halnya, dalam paradigma baru itu secara implisit kita perlu mengelola sekolah secara efektif di era otonomi pendidikan ini. Rumusan sekolah yang efektif dapat kita ikuti dari konsepnya Mortimore (1991), yaitu: “one in which students progress further than might be expected from a consideration of intake” Jadi nampak dari rumusan ini bahwa tugas penting sekolah bukannya pencapaian NEM, akan tetapi menjaga agar semua siswa dapat berkembang sejauh mungkin jika dibandingkan dengan kondisi awal ketika mereka baru memasuki sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah yang efektif, semua siswa dijamin dapat berkembang. Sebaliknya, pada sekolah yang tidak efektif hanya siswa yang memiliki kemampuan tinggi dalam belajar (fast learners) yang dapat berkem-bang.
Dalam sekolah yang efektif terdapat proses belajar yang efektif, yang ciri-cirinya menurut Mortimore adalah sebagai berikut: (1) aktif, bukannya pasif; (2) tidak kasab mata; (3) rumit, bukannya sederhana; (4) dipengaruhi oleh adanya perbedaan individual di antara para peserta didik; (5) dipengaruhi oleh berbagai konteks. Selanjutnya, ada beberapa ciri penting bagi sekolah yang efektif (Sackney, 1986), yaitu: (1) Adanya visi dan misi yang dipahami bersama oleh komunitas sekolah, yang dari sini dapat dirinci lagi menjadi: (a) adanya sistem nilai dan keyakinan yang saling dimengerti oleh komunitas sekolah; (b) adanya tujuan sekolah yang jelas; (c) adanya kepemimpinan instruksional. (2) Iklim belajar yang kondusif di sekolah, yang meliputi: (a) adanya keterlibatan dan tanggung jawab siswa; (b) lingkungan fisik yang mendukung; (c) perilaku siswa yang positif; (d) adanya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap sekolah. (3) Ada penekanan pada proses belajar, yang terdiri dari: (a) memusatkan diri pada kurikulum dan instruksional; (b) ada pengembangan dan kolegialitas para guru; (c) adanya harapan yang tinggi dari komunitas sekolah; dan (d) adanya pemantauan yang berulang-ulang terhadap kemajuan belajar siswa.
Era otonomi pendidikan sudah kita masuki. Inilah saat yang menentukan bagi para ahli, praktisi, dan juga pengamat pendidikan untuk secara bersama memberdayakan pendidikan nasional, meskipun secara politis pendidikan nasional kita saat ini kurang, dan bahkan juga layak untuk dikatakan tidak mendapatkan perhatian yang serius. Oleh karena itu di sela-sela kesibukan dan kebosanan menyaksikan gejolak politik di republik ini, marilah kita juga memanfaatkan sisa energi yang ada pada diri kita untuk merenungkan, dan juga memikirkan bagaimana nasib para generasi penerus bangsa ini melalui sentuhan pendidikan di sekolah-sekolah yang mampu menawarkan transfer of learning, transfer of training, dan transfer of principles secara efektif. Jika demikian halnya, konsekuensinya kita memang perlu membangun budaya sekolah yang efektif. Semoga begitu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

comments