Oleh : Tuah Manurung
Wakil Ketua PGRI kota Tanjungbalai-Guru SMAN 7
Tanjungbalai
SEJALAN dengan otonomi
daerah yang diberlakukan sejak Januari 2001, pendidikan dasar dan menengah juga
diserahkan pengelolaannya kepada daerah. Pemerintah daerah memang belum memiliki
pengalaman mengelola sekolah secara komprehensif. Ada daerah yang mencerminkan
sikap pesimisme dan juga ada yang mencerminkan sikap yang amat optimistik dalam
menyambut otonomi dalam bidang pendidikan. Bagi daerah yang pesi-mistik, hal
ini terjadi sebagai akibat Dana Alokasi Umum kecil dibandingkan dengan
kebutuhan daerah untuk menggaji guru pegawai negeri lain yang sudah
didaerahkan. Karena pesimisnya bahkan ada Bupati yang dengan lugas
“bercita-cita” untuk meng-embalikan sebagian guru ke pemerintah pusat. Hal ini
terjadi kebanyakan di daerah dalam Jawa. Sebaliknya, Pemerintah Daerah yang
optimistik saat ini telah mampu membuat rancangan anggaran untuk meningkatkan
pendidikan di daerahnya masing-masing melalui Pendapatan Asli Daerah yang amat
signifikan jumlahnya. Keadaan ini dapat terjadi karena daerah yang bersangkutan
memiliki cukup sumber alam berupa komoditas primer yang dapat dijual untuk
kepentingan itu. Apapun sikap daerah, the show must go on. Artinya,
pendidikan memang harus segera ditangani dengan berbagai kendala yang mungkin
ada di daerah masing-masing secara otonom.
Dalam
otonomi pendidikan, sebenarnya terbuka peluang yang cukup besar untuk membuat
pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Hal ini terjadi karena Bupati
Kepala Daerah saat ini memiliki kewenangan yang penuh dalam menentukan kualitas
sekolah di daerahnya masing-masing melalui sistem rekrutmen guru, rekrutmen
siswa, pembinaan profesionalisme guru, rekrutmen kepala sekolah, penentuan
sistem evaluasi, dan sebagainya. Jadi dalam era otonomi, berbicara tentang
kualitas pendidikan dasar dan menengah tinggal tergantung pada maunya daerah.
Jika kita meminjam terminologi school based management, kualitas
pendidikan untuk masa yang akan datang lebih tergantung pada komitmen daerah untuk
merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah cukup
visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk
dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders.
Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian
disertai dengan kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai
upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu
akan memiliki praksis yang baik, dan dengan demikian kualitas pendidikan akan
dapat ditegakkan.
Sebaliknya,
manakala pemerintah daerah memandang pendidikan tidak penting, sehingga visi
dan misi pendidikan di daerah itu tidak dirumuskan secara jelas dan dengan
demikian tidak dapat diderivasikan menjadi praksis pendidikan yang solid, mudah
ditebak bahwa pendidikan di daerah itu akan tidak baik. Jika hal ini terjadi,
praksis pendidikan akan berjalan secara tidak profesional. Sekolah-sekolah akan
dikelola secara tidak efektif. Akhirnya berbicara visi dan misi di sekolah-sekolah
berubah menjadi sesuatu yang dipandang terlalu mewah. Kondisi seperti ini akan
mendorong para praktisi pendidikan di daerah kehilangan arah dalam menjalankan
fungsinya secara profesional.
Membangun
budaya sekolah agar suatu sekolah menjadi sekolah efektif merupakan tantangan
bagi daerah dalam menangani otonomi pendidikan. Semasa sentralisasi
pendi-dikan, sekolah-sekolah dikelola tanpa memperhatikan efektivitas suatu
sekolah. Bahkan ada tolok ukur yang amat trivial, dan sebenarnya misleading bagi
proses pendidikan di sekolah, yaitu pencapaian prestasi sekolah yang selalu
dikaitkan dengan NEM. Akibatnya segala daya yang dimiliki sekolah dikerahkan
sedemikian rupa agar di sekolah-sekolah di bawah daerah kekuasaan kantor
wilayah dapat mencapai NEM yang tinggi. Proyek-proyek perbaikan kualitas
sekolah juga memiliki parameter peningkatan NEM. Masyarakat juga sangat
menikmati kebijakan itu, sehingga jika seorang anak memiliki NEM yang tinggi
orangtua anak yang bersangkutan sangat bangga tanpa mempedulikan kerusakan
aspek afektif pada diri anak. Pendek kata NEM telah dituhankan di republik ini
dalam kurun waktu yang cukup lama.
Dalam
era otonomi pendidikan, keadaan ini harus diubah. Sekarang ini telah lahir
paradigma baru mengenai keberhasilan seseorang dalam kehidupan masyarakat yang
nyata. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa IQ – perolehan aspek kognitif
(yang dicerminkan dengan perolehan NEM) tidak lagi merupakan parameter yang
signifikan bagi keberhasilan seseorang. Sebaliknya, ada faktor lain yang lebih
signifikan sebagai indikator keberhasilan, yaitu: aspek afektif – emotional
intelligence (EQ). Dengan demikian, kemampuan menahan diri, mengendalikan
emosi, memahami emosi orang lain, memiliki ketahanan menghadapi kegagalan,
bersikap sabar, memiliki kesadaran diri, bermotivasi tinggi, bersikap kreatif,
memiliki empati, bersikap toleransi, dan sebagainya merupakan karakteristik
yang jauh lebih penting untuk dimiliki siswa dari pada sekedar pencapaian NEM
itu sendiri.
Jika
demikian halnya, dalam paradigma baru itu secara implisit kita perlu mengelola
sekolah secara efektif di era otonomi pendidikan ini. Rumusan sekolah yang
efektif dapat kita ikuti dari konsepnya Mortimore (1991), yaitu: “one in which
students progress further than might be expected from a consideration of
intake” Jadi nampak dari rumusan ini bahwa tugas penting sekolah bukannya
pencapaian NEM, akan tetapi menjaga agar semua siswa dapat berkembang sejauh
mungkin jika dibandingkan dengan kondisi awal ketika mereka baru memasuki
sekolah yang bersangkutan. Pada sekolah yang efektif, semua siswa dijamin dapat
berkembang. Sebaliknya, pada sekolah yang tidak efektif hanya siswa yang
memiliki kemampuan tinggi dalam belajar (fast learners) yang dapat berkem-bang.
Dalam
sekolah yang efektif terdapat proses belajar yang efektif, yang ciri-cirinya
menurut Mortimore adalah sebagai berikut: (1) aktif, bukannya pasif; (2) tidak
kasab mata; (3) rumit, bukannya sederhana; (4) dipengaruhi oleh adanya
perbedaan individual di antara para peserta didik; (5) dipengaruhi oleh
berbagai konteks. Selanjutnya, ada beberapa ciri penting bagi sekolah yang
efektif (Sackney, 1986), yaitu: (1) Adanya visi dan misi yang dipahami bersama
oleh komunitas sekolah, yang dari sini dapat dirinci lagi menjadi: (a) adanya
sistem nilai dan keyakinan yang saling dimengerti oleh komunitas sekolah; (b)
adanya tujuan sekolah yang jelas; (c) adanya kepemimpinan instruksional. (2)
Iklim belajar yang kondusif di sekolah, yang meliputi: (a) adanya keterlibatan
dan tanggung jawab siswa; (b) lingkungan fisik yang mendukung; (c) perilaku
siswa yang positif; (d) adanya dukungan keluarga dan masyarakat terhadap
sekolah. (3) Ada penekanan pada proses belajar, yang terdiri dari: (a)
memusatkan diri pada kurikulum dan instruksional; (b) ada pengembangan dan
kolegialitas para guru; (c) adanya harapan yang tinggi dari komunitas sekolah;
dan (d) adanya pemantauan yang berulang-ulang terhadap kemajuan belajar siswa.
Era
otonomi pendidikan sudah kita masuki. Inilah saat yang menentukan bagi para
ahli, praktisi, dan juga pengamat pendidikan untuk secara bersama memberdayakan
pendidikan nasional, meskipun secara politis pendidikan nasional kita saat ini
kurang, dan bahkan juga layak untuk dikatakan tidak mendapatkan perhatian yang
serius. Oleh karena itu di sela-sela kesibukan dan kebosanan menyaksikan
gejolak politik di republik ini, marilah kita juga memanfaatkan sisa energi
yang ada pada diri kita untuk merenungkan, dan juga memikirkan bagaimana nasib
para generasi penerus bangsa ini melalui sentuhan pendidikan di sekolah-sekolah
yang mampu menawarkan transfer of learning, transfer of training, dan transfer
of principles secara efektif. Jika demikian halnya, konsekuensinya kita memang
perlu membangun budaya sekolah yang efektif. Semoga begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
comments