Suara Buruh Nasional

Jumat, 06 September 2013

KETUA UMUM DEWAN PIMPINAN PUSAT ASOSIASI MASYARAKAT PERS SUMATERA UTARA (DPP AMPERA) : Kaum Buruhlah yang Paling Menderita dan Menerima Dampaknya


SEJAK Republik ini lahir, permasalahan perburuhan di negeri ini sepertinya tak kunjung usai. Kalau dijaman penjajahan dulu ada istilah kerja paksa (kerja rodi), maka pada era demokrasi seperti saat ini dan di negeri yang katanya hemah ripah loh jinawi ini, sepertinya pengalaman pahit yang dialami oleh para buruh Indonesia pada jaman dulu masih tetap bergulir sampai saat ini. Penindasan demi penindasan, eksploitasi, perbudakan, terhadap kaum buruh masih berjalan mulus dan terjadi hampir diseluruh seantero jagat ini.

Dari eksploitasi sampai sistim pembodohan terhadap buruh gaya modern sepertinya sah-sah saja terjadi dinegeri yang katanya memakai palsafah Pancasila ini. Penyiksaan demi penyiksaan terhadap buruh di dalam negeri maupun buruh migrant (TKI/TKW) sepertinya tidak ada kesudahannya dan selalu menghi8asi media cetak dan media elektronik khususnya dinegeri yang sarat dengan budaya ini.
Belum lagi cerita miris para pensiunan buruh PTPN II yang sedang dirasakan saat ini, mereka diusir dengan berbagai cara oleh otoritas PTPN II dari tempat tinggal mereka yang sudah lebih dari tiga puluh tahun mereka tempati selama mengabdikan diri dan selama masih punya tenaga. Kata mereka, masih muda dan bertenaga sangat menguntungkan perushaaan, mereka tetap idola, tapi setelah mereka tua dan renta mereka disia-siakan begitu saja demi kepentingan ororitas PTPN II, dan bahkan sangat sedikit untuk kepentingan negara. Undang-undang dan berbagai macam peraturan perburuhan dinegeri Pancasila ini sudah cukup banyak tetapi semua peraturan itu masih tetap memposisikan buruh pada posisi yang kalha dan tak berdaya, yang seharusnya para burh adalah asset perushaaan tetapi terbalik fakta menjadi keset dan sapi perah para pengusaha.
Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia diadakan di negeri ini demi untuk perpanjangan tangan negara dan cita-cita UUD 1945 yang katanya melindungi buruh Indonesia ternyata mandul dan nyaris tak befungsi untuk buruh itu sendiri. Buktinya Buruh Harian Lepas (BHL) dan Buruh Kontrak (outsouching) yang seharusnya tidak boleh terjadi di perusahaan tertentu semakin banyaknya jumlahnya bahkan sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan tetapi instansi terkait tidak mampu berbuat apapun juga.
Serikat Buruh/Serikat Pekerja semakin menjamur jumlahnya, tetapi hanya untuk kepentingan oknum-oknum tertentu yang hanya menambah sengsara dan tak berdayanya kaum buruh itu sendiri. Bahkan diperparah lagi dengan Serikat Buruh yang satu saling menjelekkan Serikat Buruh yang lain bahkan sampai kepada  isu agama. Tetapi tidak sedikit pula jumlah buruh yang di pecat secara sepihak oleh pengusaha karena para buruh membentuk dan mendirikan Serikat Buruh/ Serikat Pekerja dan sekali lagi dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja Indonesia juga tak mampu mengatasinya.
Undang-undang ya tinggal undang-undang, namun buruh harian lepas dan buruh kontrak, buruh outsourcing, serta pelarangan dari pihak pengusaha untuk membentuk dan mendirikan Serikat Buruh dinegeri Pancasila yang sudah 68 tahun merdeka ini nampaknya semakin merajalela, yang semakin memojokkan posisi para penyumbang pajak terbesar untuk negeri ini, yang akhirnya penderitaan buruh dilengkapi pula dengan imbas ancaman  krisis global yang semakin menyengsarakan sendi-sendi kehidupan buruh dan keluarganya, lagi-lagi Departemen Tenaga Kerja tetap tutup mata.
Kaum buruh bukan tidak mau menerima kenyataan dari imbas krisi global yang mendunia itu diperusahaan tempat mereka menggantungkan hidup, tetapi sangat ironis sekali banyak perusahaan dengan memanfaatkan isi krisis global tersebut dengan mem PHK dan memutasi buruhnya, bahkan sampai mengurangi dan menghilangkan hak-hak normatif buruhnya yang tadinya selama bekerja tetap mereka terima.
Dari rentetetan penderitaan kaum buruh yang terjadi sejak jaman penjajahan dulu hingga jaman “penjajahan” moderen saat ini, sepertinya pemerintah tidak mau ambil pusing dan kalaupun ada suatu badan atau lembaga yang menyuarakan aspirasi buruh, itu hanya masih sebatas lipstik belaka dan hanya memanfaatkan keadaan demi popularitas badan atau lembaga yang dipimpinnya namun tindak lanjutnya sama sekali tidak jelas.
Definisi buruhpun tidak semua kaum buruh mengetahui dan memahaminya. Padahal secara umum baik Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan swasta, penarik beca, tukang ojok, tukang pangkas rambut, kuli tinta (wartawan), supir angkot, petani, nelayan, penjaga toko, pekerja swalayan, satpam, paramedis, tentara, polisi, mereka semua adalah termasuk definisi kaum buruh, karena mereka menerima upah/ gaji/ jasa setelah mereka melakukan suatu pekerjaan atau menjual jasanya sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Tetapi sangat ironis memang jika kita melihat kaum buruh sampai berdemo turun kejalan hanya untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dinegerinya untuk memperjuangkan nasib juga hak-haknya yang selalu diperkosa oleh pengusaha dan penguasa dinegeri ini malah para buruh dihadapkan dengan aparat polisi bahkan tentara dan kalau perlu memakai preman bayaran untuk menghadapi buruh. Kalau perlu mereka memukul, menonjok, menunjang buruh yang demo. Bahkan demo buruh jadi bahan ejekan serta membuat repot para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terganggu karena mereka (PNS) selama ini sepertinya merasa warga nomor satu dinegeri ini. Bahkan peristiwa ini terjadi diseluruh daerah Indonesia setiap tahun bahkan setiap bulan, yang seolah-olah kaum buruh tidak mempunyai “orang tua” dinegerinya sendiri.
Bahkan saat demo buruh pada May Day 2013 di Medan, para buruh berdemo di depan kabtor Gubernur Sumatera Utara untuk menyampaikan tuntutan dan aspirasi, dan pada saat itu saya berada dihalaman kantor Gubsu membaur dengan para PNS kantor Gubsu untuk melakukan tugas liputan demo buruh, saat itu saya ada mendengar ocehan seorang PNS kantor Gubsu yang mengatakan “ apa-apaan buruh ini, asik demo-demo saja, apa lagi yang mereka (buruh) minta, UMP kan sudah ditetapkan gubernur kok demo lagi, bikin repot aja, dimana-mana jadi macet gara-gara orang ini”. Suatu kata-kata miris yang menurut saya tidak pantas diucapkan oleh seorang PNS. Apakah mereka (PNS) tidak sadar bahwa pakaian yang mereka pakai sampai isi perut mereka adalah berasal dari rakyat, dari buruh, sebagai penyumbang pajak terbesar dinegeri ini ?.
Berbeda dengan PNS, TNI, dan POLRI, mereka tak perlu bersusah payah berdemo turun kejalan untuk memperjuangkan nasib dan hak-hak mereka dan keluarganya. Di negeri ini mereka adalah warga kelas satu dan dianakmaskan oleh negara. Jauh-jauh hari sebelum akhir tahun dan setiap tahun keperluan belanja mereka sudah lebih dahulu dibahas oleh negara. Gaji dan kesehatan serta perumahan mereka tetap mendapat perhatian yang serius dari negara. SK mereka juga bisa diagunkan kelembaga keuangan (bank) untuk mendapatkan pinjaman uang yang dapat mereka gunakan untuk memajukan serta meningkatkan kesejahteraan mereka dan keluarganya. (bersambung).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

comments