SEJAK Republik ini
lahir, permasalahan perburuhan di negeri ini sepertinya tak kunjung usai. Kalau
dijaman penjajahan dulu ada istilah kerja paksa (kerja rodi), maka pada era
demokrasi seperti saat ini dan di negeri yang katanya hemah ripah loh jinawi
ini, sepertinya pengalaman pahit yang dialami oleh para buruh Indonesia pada
jaman dulu masih tetap bergulir sampai saat ini. Penindasan demi penindasan, eksploitasi,
perbudakan, terhadap kaum buruh masih berjalan mulus dan terjadi hampir
diseluruh seantero jagat ini.
Dari
eksploitasi sampai sistim pembodohan terhadap buruh gaya modern sepertinya
sah-sah saja terjadi dinegeri yang katanya memakai palsafah Pancasila ini.
Penyiksaan demi penyiksaan terhadap buruh di dalam negeri maupun buruh migrant
(TKI/TKW) sepertinya tidak ada kesudahannya dan selalu menghi8asi media cetak
dan media elektronik khususnya dinegeri yang sarat dengan budaya ini.
Belum lagi
cerita miris para pensiunan buruh PTPN II yang sedang dirasakan saat ini,
mereka diusir dengan berbagai cara oleh otoritas PTPN II dari tempat tinggal
mereka yang sudah lebih dari tiga puluh tahun mereka tempati selama mengabdikan
diri dan selama masih punya tenaga. Kata mereka, masih muda dan bertenaga
sangat menguntungkan perushaaan, mereka tetap idola, tapi setelah mereka tua
dan renta mereka disia-siakan begitu saja demi kepentingan ororitas PTPN II,
dan bahkan sangat sedikit untuk kepentingan negara. Undang-undang dan berbagai
macam peraturan perburuhan dinegeri Pancasila ini sudah cukup banyak tetapi
semua peraturan itu masih tetap memposisikan buruh pada posisi yang kalha dan
tak berdaya, yang seharusnya para burh adalah asset perushaaan tetapi terbalik
fakta menjadi keset dan sapi perah para pengusaha.
Kementerian
Tenaga Kerja Republik Indonesia diadakan di negeri ini demi untuk perpanjangan
tangan negara dan cita-cita UUD 1945 yang katanya melindungi buruh Indonesia
ternyata mandul dan nyaris tak befungsi untuk buruh itu sendiri. Buktinya Buruh
Harian Lepas (BHL) dan Buruh Kontrak (outsouching) yang seharusnya tidak boleh
terjadi di perusahaan tertentu semakin banyaknya jumlahnya bahkan sudah
mencapai tingkat yang memprihatinkan tetapi instansi terkait tidak mampu
berbuat apapun juga.
Serikat
Buruh/Serikat Pekerja semakin menjamur jumlahnya, tetapi hanya untuk
kepentingan oknum-oknum tertentu yang hanya menambah sengsara dan tak
berdayanya kaum buruh itu sendiri. Bahkan diperparah lagi dengan Serikat Buruh
yang satu saling menjelekkan Serikat Buruh yang lain bahkan sampai kepada isu agama. Tetapi tidak sedikit pula jumlah
buruh yang di pecat secara sepihak oleh pengusaha karena para buruh membentuk
dan mendirikan Serikat Buruh/ Serikat Pekerja dan sekali lagi dalam hal ini
Departemen Tenaga Kerja Indonesia juga tak mampu mengatasinya.
Undang-undang
ya tinggal undang-undang, namun buruh harian lepas dan buruh kontrak, buruh
outsourcing, serta pelarangan dari pihak pengusaha untuk membentuk dan
mendirikan Serikat Buruh dinegeri Pancasila yang sudah 68 tahun merdeka ini
nampaknya semakin merajalela, yang semakin memojokkan posisi para penyumbang
pajak terbesar untuk negeri ini, yang akhirnya penderitaan buruh dilengkapi pula
dengan imbas ancaman krisis global yang
semakin menyengsarakan sendi-sendi kehidupan buruh dan keluarganya, lagi-lagi
Departemen Tenaga Kerja tetap tutup mata.
Kaum buruh
bukan tidak mau menerima kenyataan dari imbas krisi global yang mendunia itu diperusahaan
tempat mereka menggantungkan hidup, tetapi sangat ironis sekali banyak
perusahaan dengan memanfaatkan isi krisis global tersebut dengan mem PHK dan
memutasi buruhnya, bahkan sampai mengurangi dan menghilangkan hak-hak normatif
buruhnya yang tadinya selama bekerja tetap mereka terima.
Dari
rentetetan penderitaan kaum buruh yang terjadi sejak jaman penjajahan dulu
hingga jaman “penjajahan” moderen saat ini, sepertinya pemerintah tidak mau
ambil pusing dan kalaupun ada suatu badan atau lembaga yang menyuarakan
aspirasi buruh, itu hanya masih sebatas lipstik belaka dan hanya memanfaatkan
keadaan demi popularitas badan atau lembaga yang dipimpinnya namun tindak
lanjutnya sama sekali tidak jelas.
Definisi
buruhpun tidak semua kaum buruh mengetahui dan memahaminya. Padahal secara umum
baik Pegawai Negeri Sipil (PNS), karyawan swasta, penarik beca, tukang ojok,
tukang pangkas rambut, kuli tinta (wartawan), supir angkot, petani, nelayan,
penjaga toko, pekerja swalayan, satpam, paramedis, tentara, polisi, mereka
semua adalah termasuk definisi kaum buruh, karena mereka menerima upah/ gaji/
jasa setelah mereka melakukan suatu pekerjaan atau menjual jasanya sesuai
dengan bidangnya masing-masing.
Tetapi
sangat ironis memang jika kita melihat kaum buruh sampai berdemo turun kejalan
hanya untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dinegerinya untuk
memperjuangkan nasib juga hak-haknya yang selalu diperkosa oleh pengusaha dan
penguasa dinegeri ini malah para buruh dihadapkan dengan aparat polisi bahkan
tentara dan kalau perlu memakai preman bayaran untuk menghadapi buruh. Kalau
perlu mereka memukul, menonjok, menunjang buruh yang demo. Bahkan demo buruh
jadi bahan ejekan serta membuat repot para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
terganggu karena mereka (PNS) selama ini sepertinya merasa warga nomor satu
dinegeri ini. Bahkan peristiwa ini terjadi diseluruh daerah Indonesia setiap
tahun bahkan setiap bulan, yang seolah-olah kaum buruh tidak mempunyai “orang
tua” dinegerinya sendiri.
Bahkan saat
demo buruh pada May Day 2013 di Medan, para buruh berdemo di depan kabtor
Gubernur Sumatera Utara untuk menyampaikan tuntutan dan aspirasi, dan pada saat
itu saya berada dihalaman kantor Gubsu membaur dengan para PNS kantor Gubsu
untuk melakukan tugas liputan demo buruh, saat itu saya ada mendengar ocehan
seorang PNS kantor Gubsu yang mengatakan “ apa-apaan buruh ini, asik demo-demo
saja, apa lagi yang mereka (buruh) minta, UMP kan sudah ditetapkan gubernur kok
demo lagi, bikin repot aja, dimana-mana jadi macet gara-gara orang ini”. Suatu
kata-kata miris yang menurut saya tidak pantas diucapkan oleh seorang PNS.
Apakah mereka (PNS) tidak sadar bahwa pakaian yang mereka pakai sampai isi
perut mereka adalah berasal dari rakyat, dari buruh, sebagai penyumbang pajak
terbesar dinegeri ini ?.
Berbeda
dengan PNS, TNI, dan POLRI, mereka tak perlu bersusah payah berdemo turun
kejalan untuk memperjuangkan nasib dan hak-hak mereka dan keluarganya. Di negeri
ini mereka adalah warga kelas satu dan dianakmaskan oleh negara. Jauh-jauh hari
sebelum akhir tahun dan setiap tahun keperluan belanja mereka sudah lebih
dahulu dibahas oleh negara. Gaji dan kesehatan serta perumahan mereka tetap
mendapat perhatian yang serius dari negara. SK mereka juga bisa diagunkan
kelembaga keuangan (bank) untuk mendapatkan pinjaman uang yang dapat mereka
gunakan untuk memajukan serta meningkatkan kesejahteraan mereka dan keluarganya.
(bersambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
comments